Rabu, 14 Maret 2012

Jambi, Antara Minang dan Palembang

Sekitar pukul 16.30 WIB akhirnya saya sampai di bandara Thaha Jambi. Ini sudah kali ke-dua saya menginjakkan kaki di tanah melayu ini selama 2011. Tidak ada yang banyak berubah memang, masih menjadi kota yang tidak ramai bagiku.
Jalanan masih saja sepi saat itu, agak sedikit bersih sepertinya. Setelah saya bertanya pada sopir yang menjemput saya, ternyata Presiden RI mau datang. “Kasihan, presidenya dibohongi pejabat daerah”, dalam hatiku. Memang jalanan tampak bersih sore itu, dan patung-patung khas melayu yang menjadi khas kota ini menyambut kami dengan senyum yang pelit, hanya sedikit soalnya.
Salah satu patung di Jambi yang khas dengan pakaian melayu
Kota jambi, sebenarnya tidak ada yang menarik bagiku. Tidak ada tempat wisata yang luar biasa, hanya pinggiran Sungai Batang Bahari yang saat malam hari banyak dipenuhi para kawula muda melayu memadu kasih atau beberapa warga yang sekedar menikmati jagung bakar dan es tebu. Kuliner juga tidak ada yang menarik, bukan di Kota Padang, tapi semua rumah makan menyajikan masakan padang. Bukan Palembang, tapi banyak yang menjajakan Pempek, Tekwan dan sejenisnya. Pikirku, kota ini mungkin peralihan Palembang dan Minang. Untuk mengisi amunisi, kami pun makan dan wisata kuliner terlebih dahulu, sebuah ritual wajib yang membuatku bengkak tapi menyenangkan.

Masakan Padang yang banyak ditemui di Jambi sebagai menu utama Rumah makan
Pempek, makanan khas Palembang yang cukup banyak ditemui di Jambi
Hutan, Sawit dan Durian
Setelah selesai makan kamipun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Penelitian yang kami lakukan berada di Desa Talang Tembago, kecamatan Sungai tenang, kabupaten Merangin yang harus kami tempuh dengan mobil sekitar 12 jam.
Setelah sholat magrib, kamipun meluncur. Meninggalkan Kota Jambi, pemandangan tak sedap pun kami temui. Apalagi kalau bukan perkebunan sawit. Dari awal memang saya ga suka dengan sawit, bukan terlalu idealis dengan kehutanan, tapi sawit memang tidak konservasionis. Biarlah, toh apapun yang ku rasakan ga akan bisa mengubah segalanya, pikirku.
Sesekali kami masih melewati hutan yang lebat. Ya cukup membuat senang, walaupun malam cukup gelap. Dan satu hal lain yang kami temui sepanjang jalan menuju kota kabupaten Merangin adalah pemukiman. Disini ada yang menarik, karena banyak warga malam hari yang menjual duren. Apa mau dikata, duren pun menjadi pengantar menuju Kabupaten Merangin.

Beberapa durian masih dijajakan oleh masyarakat di pinggir jalan
Sekitar Pukul 00.00 kami sampai di Kabupaten Maringin, Kota Bangko. Di Bangko, kami harus menginap di Hotel, hotel sederhana yang harganya cukup mahal menurutku, Rp 300.000 per malam. Istirahat dan menyiapkan stamina untuk esok pagi, pukul 06.00 harus siap berangkat.
Setelah sarapan makanan khas Merangin, Nasi gemuk, kamipun melanjutkan perjalanan dengan Strada Triton yang memang sebelumnya mengantar kami meninggalkan Jambi. Kota bangko, bukan kota yang menarik juga, seperti kota-kota kabupaten lainya. Kurang rapi, sepi di pagi hari. Bahkan kami harus menunggu pukul 08.00 untuk mengisi bahan bakar, Asu dalam hatiku.

Nasi gemuk, makanan khas Merangin
Jam 08.00 setelah mengisi BBM kami melanjutkan perjalanan menuju desa, skeitar 6 jam kami harus melakukan perjalanan darat. Bagiku, bukan masalah, mau berapa jam, jalani saja. Ternyata sepanjang perjalanan, tidak semulus yang kami sangka. Mulai jalan yang jelek, jembatan yang sedang diperbaiki dan kayu tumbang. Pikir saya untuk menuju Kota kecamatan itu ga ditemui, ternyata, kami harus berhadapan dengan hal-hal seperti itu.
Akhirnya sekitar pukul 15.00 kami sampai di Desa Talang Tembago. Wow, desa yang sangat menarik dalam hatiku. Ramah, sejuk, karena desa ini berada di bawah bukit yang hutan alamnya masih lebat. Saya pun tersenyum, akhirnya masuk hutan setelah beberapa bulan ga masuk hutan alam.

0 komentar:

Posting Komentar